Beranda | Artikel
Aqidah Al-Wala wal Bara, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 3)
Sabtu, 20 Oktober 2018

Baca pembahasan sebelumnya Aqidah Al-Wala’ wal Bara’, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 2)

Bentuk-bentuk loyalitas kepada orang kafir yang diharamkan, namun tidak sampai membatalkan iman

Terdapat beberapa bentuk dan contoh wala’ (loyalitas) kepada orang kafir yang diharamkan, namun tidak sampai derajat pembatal iman. Berikut ini beberapa contoh di antaranya:

Pertama, menjadikan orang kafir sebagai sahabat atau teman dekat, sebagai tempat berkeluh kesah dan sebagai tempat berbagi rasa (tempat curhat)

Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari semua yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang menjadi sahabat kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4833 dan Tirmidzi no. 2378. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.)

Menjadi kewajiban atas setiap muslim untuk membenci orang-orang kafir dan musyrik, menjauhkan diri dari mereka, dan ini termasuk di antara perkara yang disepakati oleh kaum muslimin. Adapun mencintai orang kafir, maka dalam hal ini terdapat rincian yang akan kami sebutkan dalam bagian (seri) berikutnya.

Baca juga:Nabi Isa ‘Alaihissalam Dalam Aqidah Umat Islam

Kedua, bertempat tinggal menetap di negeri kafir

Jika negeri asal seseorang adalah negeri muslim, maka tidak boleh (haram) baginya berpindah ke negeri kafir dan menetap (berdomisili) di negeri kafir tersebut serta mengubah kewarganegaraannya, meskipun di negeri kafir tersebut dia masih mampu menampakkan keislamannya.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah jika dalam kondisi darurat. Misalnya, terdapat konflik (perang) di negeri asalnya dan hanya negeri kafir tersebut yang mudah menerima kedatangan pengungsi dan memberikan suaka. Selain dalam kondisi darurat tersebut, maka hukumnya tetap haram.

Hal ini berdasarkan perkataan sahabat Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ، وعلى مفارقة المشرك

“Aku berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan nasihat kepada setiap muslim dan memisahkan diri dari orang-orang musyrik.” (HR. An-Nasa’i 7: 148 dan Ahmad 4: 365, shahih)

Kondisi yang berbeda jika negeri asal orang tersebut adalah negeri kafir. Misalnya, orangtuanya kafir dan sejak kecil tinggal di negeri kafir kemudian dia masuk Islam. Dalam kondisi ini, dirinci menjadi dua keadaan:

Keadaan pertama, dia tidak bisa menampakkan keislamannya (misalnya, tidak boleh shalat, tidak boleh memakai jilbab) dan bisa untuk hijrah ke negeri muslim. Maka wajib bagi dia untuk hijrah ke negeri muslim berdasarkan ijma’ para ulama. Dia tidak boleh menetap di negeri kafir tersebut, kecuali dalam kondisi darurat. Jika tidak mampu hijrah, tidak mengapa tetap berdomisili di negeri tersebut, misalnya orang-orang tua yang secara fisik tidak memungkinkan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا؛ إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa’ [4]: 97-98)

Keadaan kedua, jika orang tersebut masih mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam, masih boleh shalat, masih boleh belajar ilmu agama, boleh memakai jilbab, dan yang lainnya, maka hijrah ke negeri muslim hukumnya sunnah, boleh baginya untuk tidak hijrah.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, ada seorang Arab badui bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hijrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

وَيْحَكَ، إِنَّ شَأْنَ الْهِجْرَةِ لَشَدِيدٌ، فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟

“Janganlah begitu, sesungguhnya hijrah itu berat. Apakah Engkau memiliki unta?”

Orang tersebut menjawab, “Iya.”

Rasulullah bertanya, “Apakah Engkau membayarkan zakatnya?”

Orang tersebut menjawab, “Iya.”

Rasulullah pun bersabda,

فَاعْمَلْ مِنْ وَرَاءِ الْبِحَارِ، فَإِنَّ اللهَ لَنْ يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا

“Silakan tetap beramal shalih di negeri asalmu di seberang lautan itu, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal shalihmu sedikit pun.” (HR. Bukhari no. 1452 dan Muslim no. 1865)

Bahkan terkadang dianjurkan bagi seseorang untuk tidak hijrah ketika terdapat maslahat di negeri asalnya tersebut. Misalnya, dia bisa berdakwah atau mengajarkan Islam di negeri asalnya tersebut.

Ketiga, safar (bepergian) ke negeri kafir tanpa ada kebutuhan

Diharamkan atas setiap muslim untuk safar ke negeri kafir kecuali jika ada hajat (kebutuhan). Jika terdapat kebutuhan atau keperluan untuk safar ke negeri tersebut, baik kebutuhan pribadi atau kebutuhan yang menyangkut urusan kaum muslimin secara umum, maka safar tersebut dibolehkan jika memenuhi tiga syarat:

Syarat pertama, orang yang safar ke negeri tersebut memiliki ilmu terhadap agamanya, dan juga ilmu terhadap hal-hal yang bermanfaat dan membahayakan dirinya.

Syarat kedua, orang tersebut tinggal di tempat yang aman dan jauh dari fitnah (kerusakan) terhadap agama dan akhlaknya.

Syarat ketiga, orang tersebut mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam di negeri tersebut.

Termasuk di antara kebutuhan yang membolehkan safar ke negeri kafir adalah safar dalam rangka dakwah, keperluan perdagangan (bisnis), berobat, atau bertugas sebagai utusan resmi negara (duta besar), atau safar dalam rangka mempelajari suatu ilmu yang tidak diperoleh di negeri muslim.

Adapun safar ke negeri kafir karena wisata, jalan-jalan atau berlibur, maka hal ini termasuk safar yang haram, karena tercakup dalam keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan juga karena hal ini bisa membahayakan agama dan akhlaknya.

Ke-empat, ikut berperan serta dalam merayakan hari besar agama mereka dan memberikan ucapan selamat atas hari raya keagamaan mereka

Tidaklah diperbolehkan atas setiap muslim untuk ikut bercampur baur dan berperan serta dalam merayakan hari besar keagamaan orang kafir (misalnya, menjadi panitia), karena dalam perbuatan tersebut berarti tanda menyetujui dan ridha terhadap perayaan tersebut serta saling menolong di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

Juga diharamkan untuk memberikan ucapan selamat atas hari raya keagamaan mereka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Adapun mengucapkan selamat atas syi’ar-syi’ar kekafiran yang menjadi ciri khas mereka, maka perbuatan ini haram berdasarkan ijma’ ulama. Misalnya, mengucapkan selamat dengan hari raya keagamaan dan hari puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya.” Atau ikut merasa gembira (dengan hari raya tersebut) dan semacamnya. Perbuatan semacam ini, jika pelakunya bisa selamat dari kekafiran, maka (minimal) hukumnya haram, dan sejenis dengan perbuatan mengucapkan selamat atas perbuatan mereka dalam bersujud kepada berhala.” (Ahkaam Ahlu Dzimmah, 1: 162)

Syaikh Muhammad bin Sa’id Al-Qahthani berkata dalam kitab beliau yang sangat bermanfaat, Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam,

“Adapun memberikan ucapan selamat atas syiar-syiar kekafiran yang menjadi ciri khas mereka, maka ini hukumnya haram dengan kesepakatan (ulama). Yang demikian itu misalnya memberikan ucapan selamat atas hari besar keagamaan mereka dengan mengatakan, ”’Iid mubarok” (Selamat hari raya Natal, atau yang lainnya, pen.). Atau ikut bergembira dengan adanya hari raya mereka. Jika yang mengatakan (ucapan selamat tersebut) terbebas dari kekafiran, maka hal ini termasuk perkara yang diharamkan. Ini sama saja dengan ikut memberikan selamat atas sujud (peribadatan) mereka kepada salib. Bahkan ini termasuk dosa yang paling besar di sisi Allah. Dan lebih besar perkaranya dibandingkan ikut mendukung mereka minum khamr, membunuh jiwa, atau terjerumus ke dalam zina yang haram, atau semacamnya.

Kebanyakan orang yang tidak paham agama terjerumus dalam hal ini. Mereka tidak tahu betapa kejinya perbuatan yang mereka lakukan. Maka barangsiapa yang memberikan ucapan selamat atas maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba, atau bid’ah dan kekafiran yang mereka lakukan, maka dia telah mendatangkan kebencian dan kemurkaan Allah Ta’ala.” (Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 359)

Adapun jika ucapan selamat tersebut disertai ridha terhadap agama kekafiran mereka, maka ini termasuk wala’ yang membatalkan iman.

Kelima, tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perkara-perkara yang menjadi ciri khas mereka

Kaum muslimin dilarang untuk menyerupai orang kafir dalam perkara-perkara yang menjadi ciri khas orang kafir. Yang dimaksud dengan “ciri khas” adalah semua sifat atau perbuatan yang bisa menjadi pembeda antara orang kafir dan kaum muslimin, baik dalam hal ibadah, adat kebiasaan, akhlak atau tingkah laku, dan baik hukum asalnya mubah atau haram dalam agama Islam.

Beberapa perbuatan yang termasuk tasyabbuh dengan orang kafir:

Contoh pertama, ikut-ikutan memangkas rambut dengan model rambut pesebak bola luar negeri tertentu yang orang kafir. Sehingga semua orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia ikut-ikutan dengan model rambut pesebak bola tersebut.

Contoh kedua, memakai mode pakaian yang sama persis dipopulerkan oleh artis yang kafir dan sudah menjadi simbol si artis kafir tersebut.

Contoh ketiga, memakai penutup kepala yang menjadi ciri khas dan simbol orang Hindu atau orang Yahudi.

Jika suatu perbuatan itu bukan ciri khas orang kafir, maka bukan termasuk tasyabbuh. Misalnya, memakai jas dan dasi.

Perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh tersebut bisa jadi hukum asalnya memang haram. Misalnya, tidak memakai jilbab bagi wanita hukum asalnya adalah haram dan dosa besar. Perbuatan ini juga diharamkan dari sisi lainnya, yaitu karena tasyabbuh dengan wanita non-muslim. Karena wanita yang tidak memakai jilbab akan sulit dibedakan dengan wanita non-muslim, jika semata-mata dilihat dari penampilannya.

Allah Ta’ala melarang tasyabbuh dengan orang kafir dalam firman-Nya,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya.” (QS. Al-Hadid [57]: 16)

Tasyabbuh ini diharamkan karena menunjukkan sikap inferior (rendah diri) kaum muslimin sehingga akhirnya mengagung-agungkan orang kafir. Padahal, orang kafir adalah sejelek-jelek makhluk di muka bumi. Inilah cara pandang yang benar bagi kaum muslimin dalam melihat dan memandang orang kafir, sehebat apa pun mereka dalam urusan duniawi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.“ (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)

Baca juga:Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah

Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka adalah tanda adanya cinta dan loyalitas dalam hati kaum muslimin kepada mereka. Sehingga siapa saja yang tasyabbuh dengan orang kafir, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam samakan dengan orang kafir tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031, hadits ini shahih)

Selain itu, kaidah penting berkaitan dengan tasyabbuh adalah bahwa tasyabbuh itu hukumnya tidak diperbolehkan, tanpa melihat niat pelakunya. Misalnya, seorang memakai pakaian pendeta dalam rangka pawai atau festival. Maka tetap haram, meskipun niatnya hanya untuk pawai dan tidak ada niat untuk tasyabbuh.

Ke-enam, menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang kepercayaan

Tidak boleh atas setiap muslim untuk menjadikan orang kafir sebagai orang kepercayaan (bithonah), dalam bentuk: (1) menyampaikan kepadanya rahasia-rahasia pribadi kita; (2) meminta saran dan nasihat kepadanya dalam urusan pribadi kita; (3) meminta saran dan nasihat terkait dengan urusan kaum muslimin; atau (4) menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau pemegang urusan-urusan kaum muslimin, misalnya mengangkat mereka sebagai juru tulis negara (sekretaris) atau sebagai pemimpin atas kaum muslimin di suatu wilayah (misalnya, presiden, gubernur atau bupati).

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ ؛ هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ؛ إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Beginilah kalian, kalian menyukai mereka (orang kafir), padahal mereka tidak menyukai kalian, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman”. Dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena marah bercampur benci terhadap kalian. Katakanlah (kepada mereka), “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.

Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 118-120)

Diriwayatkan dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau disarankan untuk mengangkat seorang juru tulis handal, namun beragama Nasrani. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu menolaknya dengan mengatakan,

قَدِ اتَّخَذْتُ إِذًا بِطَانَةً مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Kalau begitu, aku akan menjadikan dia sebagai orang kepercayaan, dengan meninggalkan orang-orang beriman.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, 8: 470 dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, 2: 550; dengan sanad yang shahih)

Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat di atas dan setelah menyebutkan riwayat ‘Umar tersebut,

فَفِي هَذَا الأثر مع هذه الآية دليل عَلَى أَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُمْ فِي الْكِتَابَةِ الَّتِي فِيهَا اسْتِطَالَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وإطلاع على دواخل أمورهم لَّتِي يُخْشَى أَنْ يُفْشُوهَا إِلَى الْأَعْدَاءِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ

“Dalam riwayat ini terdapat dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak boleh diangkat sebagai juru tulis (sekretaris) karena akan menyebabkan mereka sombong di hadapan kaum muslimin dan mereka akan mengetahui rahasia-rahasia urusan kaum muslimin yang dikhawatirkan akan mereka bocorkan kepada musuh-musuh kaum muslimin, yaitu orang kafir harbi (orang kafir yang memerangi kaum muslimin).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 92-93)

Baca juga: Menilik Perhatian Para Sahabat Terhadap Masalah Aqidah

Sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengingkari tindakan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang telah mengangkat seorang Nasrani sebagai sekretarisnya ketika Abu Musa menjabat sebagai gubernur di Syam. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu marah dan memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk memecatnya dan mengangkat sekretaris baru dari kalangan kaum muslimin. Kemudian ‘Umar membacakan ayat,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)

Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ketika menjelaskan tafsir ayat di atas dan juga Al-Baihaqi (9: 204) dengan sanad yang hasan dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Juga dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan suart Al-Maidah ayat 51 (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3: 120)

Ketujuh, tinggal serumah bersama orang kafir

Tidak boleh bagi seorang muslim untuk tinggal satu rumah bersama orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat atau teman. Juga tidak boleh tinggal bersama mereka, meskipun ada tujuan-tujuan duniawi tertentu, misalnya mempelajari bahasa mereka (misalnya, bahasa Inggris) atau urusan bisnis (misalnya, karena orang tersebut adalah rekan bisnisnya).

Juga tidak diperbolehkan sengaja mengunjungi rumah orang kafir karena: (1) ingin menyenangkan atau menghibur dirinya; (2) merasa senang dan nyaman kalau dekat-dekat bersama mereka; atau (3) sekedar main-main mencari hiburan tanpa alasan. Sebaliknya, juga tidak diperbolehkan untuk meminta mereka mengunjungi rumah kita dengan latar belakang tersebut. Karena hal ini termasuk dalam keumuman larangan menjadikan orang kafir sebagai sahabat dekat kita.

Adapun jika saling mengunjungi karena alasan-alasan yang bisa dibenarkan, misalnya masih ada hubungan kerabat, hubungan tetangga, hal ini tidak mengapa. Demikian pula jika mengunjungi karena ada maksud-maksud tertentu, misalnya dalam rangka dakwah dan melembutkan hati orang kafir tersebut dengan menampakkan akhlak Islam yang luhur (misalnya, mengunjungi orang kafir yang sakit). Selama hal itu aman dari fitnah terhadap agama dan fisik kita, maka diperbolehkan sekadar dengan kebutuhan-kebutuhan atau maksud-maksud tersebut dan tidak berlebih-lebihan.

Baca juga:

[Bersambung]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 20 Dzulqa’dah 1439/ 4 Agustus 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafizhahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.

🔍 Apa Arti Ar Rahman, Ceramah Tentang Ikhlas Dalam Beramal, Pidato Tentang Iman Dan Taqwa, Ayat Al Quran Tentang Kejujuran, Aku Ingin Sukses Ya Allah


Artikel asli: https://muslim.or.id/43217-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-bag-3.html